PRASANGKA
DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Multikulturalisme
berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau
kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang
mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami
sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan
melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan
lain-lain.
Dari
sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai
multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan
dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan-
yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang
ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural)
yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya,
kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Multikulturalisme
berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan
nilai atau memiliki kepentingan tertentu.
·
“Multikulturalisme”
pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).
·
Multikulturalisme
mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang,
serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain
(Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174).
·
Multikulturalisme
mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh
masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan
sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan
yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A.
Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar)
Multikulturalisme
bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi
yang
telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal
abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif
(istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas
yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah
timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda
dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan
baru.
Multikulturalisme
mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking
countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian
diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan
sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan,
sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan
mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga
mulai menjadi subyek debat di beberapa negara lain.
Masyarakat
Multikulturalisme dan Masalah Silang Budaya
Etnosentrisme
secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah
pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai
dengan standar kelmok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai
patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau
ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri,
adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau
bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa
yang lain.
Orang-orang
yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang
mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun
komunikasi, sehingga sangat mudah terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa
sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan
tersebut.
Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya
mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali.
Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat
dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme
untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat
multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural
Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme
atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi
corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar